Warga Pantai Lango Tuntut Ganti Rugi Lahan Terdampak Proyek Tol dan Bandara: “Kami Minta Keadilan, Bukan Janji!”

Gematrisatyamedia.com, Penajam Paser Utara, Rabu 10 September 2025 — Seorang warga asal Pantai Lango, Kelurahan Jenebora, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), bernama Sariah, menyuarakan tuntutan ganti rugi atas lahan miliknya yang terdampak pembangunan proyek strategis nasional, yakni jalan tol dan Bandara VVIP penunjang Ibu Kota Nusantara (IKN).

Pernyataan Sariah disampaikan saat mengikuti aksi unjuk rasa yang digelar di Kantor Bupati PPU pada Rabu, 10 September 2025. Dalam aksi tersebut, ia mewakili suara masyarakat dari dua kelurahan yang terdampak langsung oleh proyek infrastruktur besar tersebut.

“Kami dari Kelurahan Jenebora dan Pantai Lango datang ke sini untuk menuntut hak kami yang sampai hari ini belum diselesaikan. Kami hanya minta keadilan. Lahan kami terkena proyek jalan tol dan bandara VVIP, tapi sampai sekarang belum ada ganti rugi yang jelas,” ungkap Sariah saat diwawancarai di lokasi aksi.

Sariah menjelaskan bahwa lahan yang terdampak miliknya berada tepat di area proyek jalan tol seksi 5B, yang kini telah tersambung dengan jembatan penghubung menuju Bandara VVIP IKN. Ia mengaku memiliki kebun di lokasi tersebut seluas sekitar 4 hektare yang hingga kini belum mendapatkan estimasi nilai ganti rugi dari pemerintah.

“Tempat sasarannya itu kebun saya. Sekarang sudah jadi jembatan tol penghubung. Tapi sampai sekarang belum pernah ada estimasi nilainya, belum ada kejelasan apapun,” jelasnya.

Lebih lanjut, Sariah menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah warisan keluarga yang sudah dikuasai secara turun-temurun. Bahkan, ia menyebut bahwa sejak masa HGU PT TKA di tahun 1997, telah ada kesepakatan bahwa lahan akan dikembalikan kepada masyarakat setelah izin habis.

“Tanah itu milik nenek moyang kami. Dulu memang pernah digarap PT TKA, tapi ada perjanjian 30 tahun bahwa setelah HGU selesai, tanah kembali ke kami. Kenyataannya malah digundul sepihak oleh Bank Tanah tanpa pemberitahuan,” tegasnya.

Sariah juga menyoroti dugaan intimidasi yang pernah dialaminya, terutama saat Presiden Joko Widodo dijadwalkan melakukan peletakan batu pertama proyek. Ia menyebut bahwa sembilan kerabatnya, termasuk keponakannya, pernah ditahan aparat tanpa alasan yang jelas.

“Bukan saya yang ditahan, tapi ponakan-ponakan saya. Waktu itu mereka ditahan di Polda, sembilan orang. Hanya karena kami mempertanyakan hak kami. Ini intimidasi!” ujarnya geram.

Terkait legalitas lahan, Sariah mengakui bahwa ia tidak memiliki sertifikat resmi, namun memiliki surat keterangan kepemilikan lahan sejak lama, bahkan sejak era penggunaan mesin ketik.

“Surat saya berlogokan materai Rp1.000. Itu cukup untuk membuktikan bahwa tanah itu milik kami. Tapi waktu kami mau upgrade ke surat-surat resmi, malah dipersulit. Bahkan orang kelurahan sendiri yang menghambat, seolah sudah ada kongkalikong dengan Bank Tanah dan BPN,” katanya.

Sariah juga menolak rencana pemerintah yang menawarkan skema reforma agraria sebagai solusi atas konflik lahan tersebut. Menurutnya, karena proyek jalan tol bersifat komersial, maka pemerintah wajib membayar lahan warga yang digunakan.

“Itu bukan proyek sosial, itu proyek bisnis. Jalan tol itu kan berbayar, masa lahan kami gak dibayar? Kami gak mau reforma agraria karena ini proyek berbayar. Kami hanya minta ganti rugi yang layak,” ujarnya.

Ia juga menceritakan bagaimana dirinya sempat dilarang membangun rumah dan warung di atas lahannya sendiri, sebuah bentuk intimidasi yang menurutnya tidak adil dan mencederai hak dasar warga negara.

“Saya pernah dilarang bikin rumah, dilarang buka warung. Tapi saya tidak peduli, karena itu hak saya. Saya tetap bangun rumah permanen. Sekarang status rumah itu ngambang, kami minta kejelasan, kalau pun tidak bisa dipertahankan, ya harus ada ganti rugi,” jelasnya.

Menutup pernyataannya, Sariah menekankan bahwa ia dan warga lainnya hanya ingin diperlakukan adil dan tidak lagi diberi janji-janji kosong. Ia menuntut agar pemerintah daerah dan lembaga terkait segera menyelesaikan persoalan ini dengan serius dan manusiawi.

“Jangan lagi kami dijanji-janji. Kami ini manusia yang tinggal langsung di lahan itu. Kami tidak minta lebih, hanya hak kami. Kalau tidak bisa dibayar, ya kembalikan tanah kami. Jangan seenaknya diserobot,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *